Dalam Undang-Undang Pernikahan ada disebut jenis pernikahan yang dipersoalkan, Iaitu kahwin kontrak atau nikah mut’ah, selain pernikahan poligami. Nikah jenis ini dihalalkan oleh kalangan Syi’ah dengan berbagai dalil yang mereka miliki. Namun, di kalangan Sunni, nikah ini diharamkan. Berikut penjelasan hukum mengenai nikah mut’ah ini berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yang sahih.
Definisi Nikah Mut’ah
Nikah mut'ah adalah sebuah pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Jil. 5 hal. 76).
Secara sederhana nikah mut’ah juga didefinisikan sebagai kahwin kontrak yang waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh jadi satu tahun, satu bulan, atau satu hari, satu jam sekalipun. Sedangkan batas wanita yang di-mut’ah terserah si lelaki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si lelaki. Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya meninggal dunia, meskipun masih dalam waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah (belanja) dan tidak wajib memberi tempat tinggal.
Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq, tetapi habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati. Pelakunya boleh jejaka atau duda, bahkan yang sudah beristeri. Sedang si wanita boleh masih perawan atau sudah janda, bahkan menurut fatwa Khumaini seseorang boleh melakukan Mut’ah sekalipun dengan pelacur. Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. (al-bayyinat.net)
Nikah Mut’ah Menurut Syiah Rafidhah (Imamiyah)
Syi’ah, terutama aliran Rafidhah, sangat menganjurkan perkawinan mut’ah ini. Berikut beberapa kutipan yang menganjurkan nikah mut’ah dalam literatur-literatur Syi’ah.
1. “Sesungguhnya nikah mut'ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.” (Ash-Shaduq di dalam kitab Man Lâ Yahdhûruhul-Faqîh)
2. Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya, “Apakah nikah mut'ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab, “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut'ah, pen.) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya.”
3. As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi Saw., bahwa beliau bersabda “Barangsiapa melakukan nikah mut'ah satu kali maka darjatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka darjatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka darjatnya seperti Ali radhiallahu 'anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka darjatnya seperti aku.”
4. Ja'far Ash-Sadiq pernah ditanya seseorang, "Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?" Maka beliau menjawab, “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut'ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit mahupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan, “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si lelaki untuk menggaulinya. (Al-Kulaini, Al-Furu' Minal-Kafi5/455).
Dalam penerangan di atas jelas dinyatakan mengenai keutamaan dari nikah mut’ah. Bahkan untuk itu, tidak segan-segan mereka mengada-adakan hadis atas nama Rasulullah Saw., padahal beliau sendiri tidak pernah mengatakan hal itu sama sekali. Sementara itu, status dan kedudukan nikah mut’ah menurut pandangan Islam yang benar adalah sebagai berikut. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa tidak semua aliran Syiah menghalalkan nikah jenis ini seperti Ziadiyah dan Isma’iliyah yang mengharamkannya. Hanya Syi’ah Imamiyah (Itsna Ashariyah) yang menghalalkan bahkan menganjurkannya. Syiah inilah yang sekarang dianut oleh pemerintah dan majoriti penduduk Iran.
Hukum Nikah Mut’ah
Di kalangan ulama Ahlus-Sunnah wal-Jamaah (Sunni) terjadi kesepakatan (ijmâ’) tentang keharaman nikah mut’ah ini. Imam Al-Nawawi menyimpulkan bahwa sebelumnya nikah ini dibolehkan, namun kemudian diharamkan selama-lamanya. Oleh sebab itu, dalam Syarah-nya atas Sahîh Muslim Jil. 5, ia menuliskan bab khusus berjudul Bâb Nikâh Al-Mut‘ah wa Bayân Annahu Ubîha tsumma Nusikha tsumma Ubîha tsumma Nusikha wa Istaqarra Tahrîmuhu ilâ Yaum Al-Qiyâmah (Bab Nikah Mut‘ah dan Penjelasan bahwa Hal Itu Mulanya Dibolehkan kemudian Dihapus kemudian Dibolehkan kemudian Dihapus lagi dan Ditetapkan Keharamannya sampai Hari Kiamat).
Kesimpulan yang jelas dan tegas dari Imam Al-Nawawi ini memang didasarkan pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh begitu banyak perawi hadis dan tegas. Bahkan hadis pengharaman nikah mut‘ah riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim diterima dari sahabat Ali ibn Abi Thalib yang diakui Syiah sebagai Imam besar mereka. Berikut beberapa riwayat yang secara tegas melarang pernikahan ini berikut perawinya.
1. Al-Bukhari dan Muslim Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1407), juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i dalam kitab Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1961), Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam Kitab An-Nikah (1151), Sunan Ad-Darimi dalam Kitab An-Nikah (2197):
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Bahwasanya Rasulullah SAW. melarang jenis pernikahan mut’ah dan (melarang) memakan daging keldai Ahliyah pada hari Khaibar.”
2. Dalam riwayat Malik 2/542, Ahmad (1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30, 8/61), Muslim (2/1027, 1028 no.1407), Tirmidzi (3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202, 203, no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86, 140), Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban (9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ
“Beliau melarang dari jenis mut’atun nisaa’ (menikahi wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.”
3. Demikian pula Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Sahihnya dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda. Lafaz hadis (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406, Muslim 2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq 7/504, no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban 9/454-455 no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203.
إِنَّا قَدْ كُنَّا أَذِنَّا لَكُمْ فِي هَذِهِ الْمُتْعَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ هَذِهِ النِّسْوَانِ شَيْءٌ، فَلْيُرْسِلْهُ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
“Sungguh! Aku dahulu mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita. (Ketauhilah!) sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barangsiapa yang masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita yang dia mut’ahi).”
Ketiga hadis di atas, secara terang dan tegas menyatakan pelarangan dan keharaman nikah mut‘ah. Hadis ini termasuk yang sharîh sehingga kesimpulan hukumnya pun jelas dan tegas pula, iaitu bahwa nikah mut‘ah adalah haram. Walaupun hukumnya jelas, namun para pemikir kalangan Syiah Imamiyah mencoba menolaknya dengan membolak-balikkan logika. Namun, kejelasan keterangan mengenai nikah mut’ah ini disepakati oleh para ulama sehingga keragu-raguan yang dihembuskan kalangan Syiah terhadap status hukum yang jelas ini tidak dapat mematahkan argumentasi hukum para ulama selama berabad-abad. Wallâhu A’lam.
Credit to: PERSIS
mencari wanita untuk kahwin kontrak on paper sahaja. Tiada hubungan seks, sekadar memenuhi permintaan keluarga. ganjaran disediakan. email kontraknikah@gmail.com
ReplyDelete